Postingan ini hanya sekedar iseng untuk menceritakan masa kecil saya yang iseng, dan kemudian terbawa sampai sekarang. Pun tulisan ini terinspirasi dari mbak Qebo dan pengalaman kecilnya tentang Wiro Sableng yang membuat memori saya tentang Wiro Sableng muncul kembali.
Siapa yang tak kenal Wiro Sableng kalau anda kelahiran 80 an?
Saya menyukai tokoh ini bahkan sejak masih novel. Hampir seluruh novelnya sudah saya baca sejak kelas 1 SMP. Sampai episode terakhir. Kegilaan membaca saya yang pertama adalah pada novel Wiro Sableng ini.
Kebetulan adik ibu kos saya punya persewaaan buku. Sehingga saya punya akses yang lebih murah pada novel Wiro Sableng ini. Biasanya kalau orang umum Rp. 150,- per buku maka bagi saya dan teman kos yang lain cukup dengan Rp. 150,- untuk 2 buku.
Pada saat saya duduk di kelas 2 SMP, novel inipun dibuat sinetronnya. Dan akhirnya sempat ngetop pada tahun 96-97an. Mungkin karena saking kurangnya tontonan bagus di kala itu, jadilah Wiro Sableng sebagai favorit tontonan saya kalau minggu pulang ke rumah. Oh iya, sejak SMP saya sudah kos sendiri.. 🙂
Dan yang membuat saya paling semangat lagi, adalah karena Kepala Sekolah saya waktu itu pernah jadi salah satu figuran. Iya, figuran saja. Tak kurang tak lebih. Tapi semenjak hal itu diumumkan di upacara bendera, saya sudah menunggu hingga hari Ahad menjelang. Tak sabar rasanya untuk pulang kampung dan kemudian duduk menunggu sampai pemutaran Wiro Sableng jam 11an siang.
Hari Ahad pun tiba, saya dan keluarga menunggu bagaimana Pak Kepala Sekolah yang kami hormati sebagai seorang guru pencak silat beraksi. Sebagai seorang bocah polos dan lugu, menit per menit saya cermati akan jadi apa Kepala Sekolah saya tersebut. Dan saat itu muncullah seorang pendekar tua. Berjenggot putih dan berbaju putih. Hanya 3-4 menit saja dan tak lebih dari 5-6 gerakan silat. Bahkan jauh lebih panjang pidato Bapak Kepala Sekolah di upacara bendera tempo hari.
Hal lain yang berkaitan dengan Wiro Sableng adalah dengkul saya yang sampai sekarang masih ada bekas luka. Ini karena saya pernah mencoba terbang sambil menendang seperti yang ada di novel Wiro Sableng. Jurus kunyuk melempar buah kalau tidak keliru. Imajinasi kata-kata memang mengerikan.
Awalnya saya hanya bermain-main saja sendirian sambil menggembala kambing di sekitaran rumah. Karena tak ada teman, niat isengpun tumbuh. Tak ada niat malu, karena hanya ada saya, Tuhan, dan kambing saya saja saat itu.
Sayapun mulai memanjat rimbunan pohon bambu yang tengahnya sudah habis dibersihkan. Nah, terinspirasi dari Wiro Sableng yang bisa terbang sambil menendang, melompatlah saya dengan kaki kanan menendang ke depan tanpa melihat kalau didepan saya masih ada pohon bambu yang masih agak rimbun.
Krosaaak..
Sukseslah saya mendarat di pohon bambu depan saya dengan kaki diatas, tersangkut di cabang bambu yang kecil-kecil penuh duri..
Tak ada yang salah. Kambing saya yang seharusnya jadi saksi hanya diam melihat kelakuan sang majikan.
Dua kali sudah Wiro Sableng mencederai saya. Namun saya masih tetap merindukkan sosok itu sekarang. Ditengah hiruk pikuk sinetron yang seolah serba kaya kita butuh kesederhanaan, keusilan, dan nilai hormat kepada orang tua. Imajinasi menjadi kaya memang butuh, tapi merasa cukup dan bersyukur jauh lebih penting.
wkwkwk nyangkutnya tragis banget. kambingnya diem pulak, minta disembeleh tuh,,untung saya masi ada kakak di tempat kejadian, wkwk 😀
betewe, itu kepala sekolah ngapa ngerangkap jadi figuran,, ahahahh harus bangga ape gimane yee,, 😆
haha.. beruntungnya kamu mbak.. 🙁 masih ada kakak..
nah, ini kambing, masa ya kambing bawa baskom..
haha, nah itulah yang complicated.. bangga dikit, cuma 5 menit ternyata..
kalo saya lebih suka karangan kho ping ho… setelahnua baru karya bastian tito… hehe